Bijak Pilih Benur untuk Kesuksesan Budidaya Udang

Image : Intrafish.com

Benur merupakan kepanjangan dari benih urang atau benih udang. Produksi benih udang di Indonesia saat ini mencapai 40-45 Milyar pada tahun 2021, namun jumlah itu belum mampu mendongkrak produksi udang nasional. Produksi udang nasional 2021 lebih baik dari tahun sebelumnya, dari 1,11 juta ton naik menjadi 1,21 juta ton atau sekitar 9,2%. Namun produksi udang nasional cenderung turun bila dibandingkan 2017 yakni sebesar 1,37 juta ton. Penurunan ini salah satunya diakibatkan karena meningkatnya serangan penyakit udang.

Tingginya nilai ammonia atau bahan organik dalam perairan akan mengakibatkan tidak berfungsinya system metabolisme, respirasi, kekebalan tubuh dan pertumbuhan dan dapat memengaruhi rusaknya beberapa organ seperti insang, hepatopancreas dan lapisan usus. Oleh karena itu untuk meminimalisir keberadaan ammonia dan bahan organik dalam perairan pembudidaya dapat melakukan beberapa cara, salah satunya adalah melalui aplikasi probiotik jenis Bacillus sp. yang dapat menekan adanya vibrio dalam perairan serta mampu menunjang pertumbuhan dan perkembangan udang vaname secara optimal.

Proses penekanan bakteri patogen yang dilakukan oleh Bacillus sp. dapat terjadi karena kemampuannya meningkatkan kekebalan tubuh udang terhadap patogen-patogen yang terdapat dalam perairan. Selain itu, Bacillus juga berperan dalam optimalisasi pertumbuhan udang, efisiensi pakan serta dapat menghasilkan zat antimikroba yaitu bakteriosin sehingga mampu meningkatkan kekebalan tubuh udang.

Bakteriosin sendiri adalah zat antimikroba polipeptida atau protein yang diproduksi oleh mikroorganisme yang bersifat bakterisida yang dapat membunuh patogen-patogen dalam perairan dengan menyisip membran target sehingga mengakibatkan fungsi membran sel menjadi tidak stabil yang kemudian menyebabkan sel lisis. Dari beberapa manfaat yang diberikan oleh bakteri Bacillus maka dapat disimpulkan bahwa Bacillus mampu membantu dalam proses optimalisasi budidaya udang vaname.

Tahun ke tahun penyakit udang berevolusi dari serangan virus di tahun 90an awal berupa WSSV pada windu, kemudian IMNV pada tahun 2015 dan berkembang hingga penyakit yang berasal dari bakteri dan fungi berupa AHPND dan EHP yang berkembang dengan gejala EMS (Early Mortality Syndrome) untuk di awal budidaya dan RMS (Running Mortality Syndrome) untuk di tengah budidaya. Oleh karena itu selain menjaga kualitas air dan kontruksi budidaya, diperlukan pemilihan benur yang bijak sebelum melakukan penebaran.

Pemilihan benur yang baik dan berkualitas merupakan kunci sukses budidaya. Karena biaya terbesar pada budidaya adalah udang mati. Dampaknya adalah ketika udang mati maka harga akan turun bahkan tidak laku di pasar. Ironinya udang yang mati tersebut sudah memakan pakan, obat-obatan dan menikmati treatment air yang diberikan. Hal ini menimbulkan biaya produksi yang tinggi untuk di Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Biaya benur dalam produksi pembesaran udang adalah sebesar 7-11% namun memiliki efek pareto 70-80%, sehingga pemilihan benur yang baik dan sehat mampu menghasilkan panen yang lebih baik.

Pemilihan benur yang baik dan sehat dapat dilakukan dengan scoring benur yang dilakukan oleh hatchery, baik dengan uji stress, uji bolitos dan keseragaman serta diperkuat dengan PCR, baik dengan nested PCR maupun RT PCR. Saat ini RT PCR mampu memberikan hasil PCR lebih akurat karena kemampuan dalam menangkap copy virus yang lebih kecil bahkan hingga 5 copy/virus yang terimpilkasi dengan CT Value. semakin kecil CT value maka nilai virus semakin besar. Uji ini lebih akurat dibandingkan dengan nested PCR dan sebaiknya dilakukan oleh laboratorium independen sehingga benur teruji secara profesional dan terintegrasi. Benur yang bebas penyakit merupakan syarat mutlak untuk benur dapat diterima ke tangan konsumen.

Kolaborasi antara Uji lab yang akurat, profesional dan independen dengan hatchery akan memberikan manfaat yang baik bagi hatchery dan petambak serta produksi udang nasional, sehingga mampu memberikan keuntungan kompetitif pada biaya produksi yang berefek kepada HPP udang. Pemilihan benur yang baik dan bebas penyakit perlu didukung oleh nutrisi yang optimal melalui suplementasi pakan hidup berupa artemia yang bebas pathogen. Artemia merupakan nutrisi lengkap dan sempurna sehingga mudah diserap oleh udang dalam waktu emas budidaya yaitu DOC 1-3 hari sehingga mengurangi pemakaian pakan buatan pada awal budidaya serta mejaga air agar performa tidak menurun pada awal budidaya yang menyebabkan EMS.

Harga benur yang lebih tinggi dibandingkan pada umumnya menjadi daya tarik sendiri bagi petambak, namun efek dari jangka panjang dapat memberikan dampak buruk. Cek awal benur dengan menggunakan RT PCR akurat memang tidak signifikan menaikan harga benur namun memberikan dampak jangka panjang risiko lebih rendah dengan mengetahui benur tersebut aman dan memberikan panen yang baik. Perbandingan harga benur di Indonesia yang berada pada kisaran 40-60 rupiah/ekor ternyata lebih murah dibandingkan di India dengan harga 0,38-0,55 Ruphee atau sekitar 71-102 rupiah/ekor. Menariknya, harga udang di India lebih murah dibandingkan di Indonesia. Tentu hal ini patut direnungkan. Pasalnya India mampu menggeser dominasi Indonesia, Vietnam dan Thailand sebagai eksportir vannamei dengan harga kompetitif. Perpaduan pengujian penyakit sejak dini pada benur memberikan dampak yang nyata pada kesuksesan budidaya udang ditambah dengan penyediaan nutrient terbaik dengan pakan hidup seperti artemia yang memberikan double effect pada budidaya udang itu sendiri. FisTx sebagai perusahaan teknologi yang telah berkolaborasi dengan beberapa hatchery akan menghadirkan super larva sebagai salah satu solusi kami terhadap benur bebas pathogen dan memberikan pertumbuhan dan imun yang optimal melalui kolaborasi dengan Cek kolam dan Invebio untuk menyediakan benur yang bebas pathogen dan nutrisi awal yang lengkap dan mudah diserap oleh udang.

MENGOPTIMALKAN PEMBERIAN PAKAN DI AWAL BUDIDAYA UDANG

Image : laulaukan.com

Budidaya udang di Asia telah berkembang secara eksponen selama empat decade terakhir, ini merupakan respon atas tingginya permintaan pasar dunia. Pada saat yang sama sistem produksi udang berubah dari ekstensif menjadi intensif untuk memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini tentunya tidak lepas dari pemberian pakan yang bijak sehingga lingkungan tetap terjaga dan pertumbuhan udang optimal. Pemberian pakan pada udang vaname DOC 1-30 biasanya menggunakan metode Blind Feeding. Metode pemberian pakan Blind Feeding merupakan metode pemberian pakan yang digunakan padat benur pasca penebaran di tambak. Metode blind feeding didasarkan pada estimasi populasi udang yang ditebar di petak.

Blind feeding diimplementasikan pada DOC 1 – 30 dengan rasio pemberian pakan yang diberikan berkisar 4 – 7,3 kg/100.000 ekor benur. Namun rasio pemberian pakan yang disarankan FisTx berkisar 2,5-3 kg/100.000 ekor benur dengan menyesuaikan dengan lokasi area budidaya di Indonesia. Pada fase Blind Feeding ini, dianggap genting karena merupakan fase peralihan dari pemberian pakan alami ke pakan buatan. Pada fase post larva, udang akan cenderung memakan pakan alami berupa artemia. Permasalahan yang sering petambak hadapi adalah overfeeding ketika menerapkan blind feeding.

Sehingga muncul paradigma pakan yang diberikan di awal budidaya hanya untuk penumbuhan plankton. Padahal, kita bisa mengkaji hal ini lebih bijak lagi. Salah satunya dengan memberikan pakan artemia sebagai pakan starter. Hal ini bertujuan untuk memperpanjang proses adaptasi si benur terhadap pakan yang diberikan. Menurut penelitian (Anh et al., 2011) bahwa pada stadia PL15 dengan perlakuan pemberian pakan menggunakan artemia dihasilkan SGR dan panjang tubuh lebih bagus 4% dari pada pemberian pakan komersial. Menurut penelitian (Hoa et al. 2007) biomas artemia dapat menjadi alternatif yang bagus, kompleks secara nutrisi dan mudah untuk dikultur. Untuk pemberian artemia biasanya dilakukan pada awal budidaya pada DOC 1-15 berkisar 0,2L/100.000 ekor.

Memastikan Benur Berkualitas Melalui Genetik

Pentingnya melakukan pemilihan benur (benih udang) vaname yang berkualitas mempengaruhi kualitas udang pada stadia selanjutnya. Benur berasal dari induk udang vaname yang terpilih dan menurunkan sifat keunggulannya pada turunannya. Kriteria utama dalam menghasilkan benur berkualitas adalah induk udang yang telah specific pathogen free (SPF), minimal berumur 8-10 bulan dengan F1 atau keturunan pertama, berat induk 35-65 gram dengan panjang 17-20 cm, hepatopankreas tidak pucat dan penuh, serta melawan arus.

Induk dipijahkan umumnya menggunakan proses ablasi dengan memotong salah satu tangkai mata induk betina agar mempercepat kematangan gonad dengan hasil punggung berwarna kuning orange (betina) dan melekatnya spermatofor putih pada pangkal kaki jalan kelima (jantan). Selain dari induk, kualitas benur juga ditentukan dari telur yang dihasilkan. Induk udang vaname yang sehat mengeluarkan telur yang seragam dan diperoleh kisaran 369.900 butir per induk. Ukuran telur dipengaruhi oleh banyaknya kuning telur dan berkembang menjadi naupli. Tahapan zoea dan mysis dilihat dari perkembangan panjang benur. Setelah itu, larva yang terpilih dan bertahan hidup adalah setelah tahap zoea, karena kematian yang besar terjadi dari zoea III sampai mysis I.

Tips Memilih Benur yang Sehat

Ciri memilih benur adalah lincah, melawan arus, peka terhadap rangsangan luar. Benur yang sehat memiliki warna cerah/putih/putih kecoklatan, usus penuh. Sifat pergerakan benur sehat berenang lurus, bentuk badannya bengkok. memiliki mata mengkilap dan tidak ada bercak di kulit. Tubuh benur bersih dari kotoran dan lumut. Ukuran benur yang sehat juga seragam dan umur paling ideal antara PL10-PL12 (Pada stadia ini ekor benur sudah mengembang dengan baik pada saat ditebar, bisa bergerak ke dasar tambak) (Kusyairi dkk., 2019). Benur yang sehat dilakukan pengujian beberapa jenis virus, yakni WSSV, TSV, YHV, BP, IHHNV, HPV, dan MBV menunjukkan bahwa induk udang bersifat SPF. Hal ini membuktikan bahwa induk-induk F-0 tidak terinfeksi virus hingga menghasilkan benih generasi pertama (F-1).

Penulis : Reza Istiqomatul Hidayah (Technical Aquaculture of FisTx)

Referensi

Fatimah., Wardha, J., dan Supasman, E. 2022. Studi Reproduksi Induk Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) pada Kolam Pemeliharaan Unit Induk III PT. Esaputlii Prakarsa Utama. Aquamarine, 11(2): 13-23.

Haryanti., Fahrudin., Ida, K.W., Sari, B. M., Gusti, N. P., dan Ketut, M. 2011. Profil Genotip Benih Udang Windu Penaeus monodon Hasil Seleksi dengan Karakter Toleran terhadap Infeksi White Spot Syndrome Virus. Jurnal Riset Akuakultur, 6(3): 393-405.

Iskandar, A., Afrizal, R., Andri, H., Giri, M. D., Abuzzar., Khoerullah., dan Muksin. 2021. Manajemen Pembenihan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di PT. Central Proteina Prima, Kalianda, Lampung Selatan. Jurnal Perikanan Terapan, 2(1): 1-8.

Kusyairi, A., Didik, T., dan Sri, O. M. 2019. Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Lahan Pekarangan Kelurahan Pakis Kecamatan Sawahan Kota Surabaya. Jurnal Pengabdian Masyarakat, 4(2): 103-110.

Racotta, I. S., Elena, P., Ana, M. I. 2003. Shrimp larval quality in relation to broodstock condition. Aquaculture, 227: 107-130.

Subaidah S, Pramudjo, Asdari M, Imam N, Sugestya, Nurul D, Cahyaningsih S. 2006. Pembenihan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Situbondo (ID): Balai Budidaya Air Payau Situbondo.